Miris hati ini mendengar pemberitaan yang gencar akhir-akhir ini tentang diskriminasi di dalam hotel prodeo. Adalah arthalytha suryani atau yang lebih dikenal dengan sebutan ayin seorang terpidana kasus pensuapan jaksa TG. Dan ayin seorang terpidana kasus narkoba.
Kedua terpidana tersebut mendapat surprise dari satgas pemberantasan mafia hukum yang menyambangi tempat kediamannya di suatu kamar hotel prodeo dimana tempat tersebut yang seharusnya bisa memberikan efek jera, mengadili atas tindakan criminal pidana tersebut, seperti yang tertulis dalam dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, “bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”. tetapi ternyata telah berubah fungsi menjadi hotel berbintang. indonesiaku sayang bagaimana nasib keadilan di negeri tercinta ini? Ketika mendengar berita tersebut., terlintas dalam pikiran saya bagaimana memperlakukan manusia didalam kehidupan di sebuah hotel prodeo? Mengutip dari Dr Sahardjo, SH yang mengatakan bahwa “Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa dia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia” oleh karena narapidana juga dipandang sebagai manusia yang sedang menjalani masa hukuman atas tindakan kriminalnya, narapidana juga mempunyai hak meskipun mereka berada dalam penjara, seperti yang tertulis dalam pasal 14 Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa narapidana berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, mendapatkan buku bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya, mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, mendapatkan pembebasan bersyarat, mendapatkan cuti menjelang bebas dan hak-hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Merujuk dari kasus tersebut, menurut hemat penulis tidaklah salah apabila mendapat perlakuan yang manusiawi dalam penjara, namun hal ini akan menjadi tidak benar apabila seorang narapidana mendapat perlakuan yang sangat berlebih didalamnya sehingga menimbulkan diskrimasi antara sesama anggota penghuni hotel tersebut.,sehingga akan menimbulkan pertanyaan “apakah seorang high class terpidana dalam arti terpidana yang banyak duit yang pantas mendapat perlakuan tersebut., dimana narapidana tersebut mendapatkan perlakuan yang sangat manusiawi dengan segala fasilitas yang disediakan dalam penjara lengkap dengan peralatan canggih sesuai dengan kebutuhan mereka, bagaimana dengan nasib orang yang tidak punya atau biasa?apakah mereka juga mendapatkan keadilan yang sama seperti yang diperoleh oleh kaum high class terpidana tersebut?bagaimana prinsip keadilan sebenarnya itu”.
Berbicara mengenai keadilan, teringat saya akan kisah seorang nenek yang dipenjara karena mencuri 3 kakao dimna satu biji kakao seharga 3000 rupiah, selain itu terdapat seorang buruh pabrik yang dituduh mencuri kudapan milik perusahaan tempatnya bekerja seharga 19.000 rupiah sehingga dituntut tiga bulan penjara dan dipecat.
Kedua orang tersebut merupakan contoh dari entah apa namanya, apakah korban dari suatu ketidakadilan ataukah penjahat ataukah apapun sebutannya. Yang jelas mereka adalah orang kecil, orang yang terlalu keras menjalani hidup untuk mencari sesuap nasi. Oleh karena itu, banyak civil society menanggapi kasus ini dengan tanggapan bahwa mencuri itu sebaiknya jangan nanggung,karena apabila mencuri dengan jumlah yang sedikit akan semakin berat hukumannya, berbeda dengan mencuri dengan jumlah yang besar, milyaran, pastinya angka hukuman yang didapat semakin kecil. Sehingga neraca keadilan seolah berpihak terhadap tindakan criminal yang bernilai milyaran rupiah.
Dalam konteks hukum dan keadilan tersebut, pernyataan dan tanggapan civil society sarat akan makna sosiologisnya, tetapi dilain tempat, pernyataan dan tanggapan civil society dicerminkan juga melalui sebuah perlawanan. Seperti pada kasus bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah dimana banyak para civil society melakukan perlawanan dalam bentuk dukungan pembebasan terhadap bibit S riyanto dan Chandra hamzah melalui jejaring social yaitu facebook. Dan perlawanan malalui bentuk dukungan koin untuk prita dalam kasus pencemaran nama baik antara RS omni VS Prita. Menurut hemat pnulis, tentunya perlawanan dari civil society terhadap ketidakadilan bukanlah fenomena yang baru. Hal tersebut akan terus terjadi apabila hukum tidak memberikan keadilan kepada yang mencarinya, atau mungkin kepada aparat penegak hukum yang tidak pernah mampu melakukan tugas dan fungsinya. Sehingga terjadi pencitraan bahwa hukum (aparat penegak hukum) keras terhadap orang miskin, dan lemah saat berhadapan dengan orang kaya, atau orang yang mempunyai kekuasaan.
written by :
wendra afriana staf tenaga ahli A-518 DPR RI, dosen universitas Gunadarma dan peneliti lepas
Minggu, 18 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar