Berbicara mengenai peran, pasti akan menjadi suatu pertanyaan besar mengenai apa peran penyandang cacat terhadap bangsa bahkan mungkin terhadap keluarganya agar tidak merepotkan. Mungkin pertanyaan itu masih menjadi pertanyaan common/hal biasa untuk seluruh masyarakat.
Tapi bagi kami, bagiku, pertanyaan
itu adalah tantangan untuk bisa memberikan pembuktian, bahwa kami penyandang
cacat bisa memiliki kontribusi dan melakukan sesuatu yang berarti untuk bangsa
Indonesia.
Jika anda search keyword prestasi atlet penyandang cacat, maka otomatis
pertanyaan yang common/biasa tersebut seketika akan memudar dan hilang dari
pikiran anda. Betapa tidak, dengan keterbatasan fisik mereka bisa melakukan
sesuatu yang berharga yakni mengharumkan nama bangsa. Indonesiapun pernah
memiliki Presiden yang kontroversi karena beliau adalah penyandang tuna netra.
Tapi apa lantas dengan keterbatasan tersebut, menjadi penghalang untuk bisa
memimpin bangsa? Tidak. Karena pada saat kepemimpinannya sederet pemikiran
brilliant lahir.
Pada konteks inilah, saya yang
menjadi cacat karena peristiwa kecelakaan 13 tahun lalu, berpikir kenapa masih
terjadi stigma buruk terhadap penyandang cacat? Kenapa kami tidak diberi ruang
untuk menunjukkan kemampuan kami? Kenapa di perusahaan atau instansi pemerintah
masih jarang ditemui kebijakan yang membolehkan penyandang cacat bekerja
didalamnya? Kenapa?
Tentunya penyebab utama perlakuan diskriminatif selama ini
tidak terlepas dari minimnya sanksi atau pengawasan peraturan yang mengatur
kaum diffable. Sebut saja UU
No.4 tahun 1997 Pasal 14 tentang
"Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat" yang
berbunyi bahwa setiap pengusaha yang memiliki jumlah karyawan 100 orang atau
lebih pada perusahaannya wajib mempekerjakan minimal satu orang penyandang
cacat untuk memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan, atau kurang
dari 100 orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi tinggi. Meski UU
tersebut mewajibkan adanya kuota 1% bagi penyandang cacat, namun kenyataannya
pengawasan dan pemberian sanksi dari pemerintah kepada perusahaan swasta yang
tidak mengimplementasikan kuota 1% tenaga kerja penyandang cacat masih minim.
Selain itu, dengan adanya UU tersebut belum diikuti dengan melahirkan Perda
tentang implementasi kuota 1% tenaga kerja penyandang cacat, sehingga
menimbulkan ketidakpatuhan perusahaan swasta terhadap pengaturan kuota 1%
tenaga kerja penyandang cacat.
Untuk itu, saya sebagai penyandang
disabiliti mempunyai tekad, bahwa kebijakan public yang selama ini dibuat oleh
pemerintah harus juga memperhatikan rasio keterwakilan penyandang cacat, tidak
ada pemberian putusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan penyandang cacat. Saya
harus ikut berperan dalam proses pembuatan kebijakan public. Artinya adalah
saya harus menjadi actor di lembaga eksekutif ataupun legislative, sehingga bisa
melahirkan kebijakan public yang bisa menempatkan dan memberi ruang untuk kaum
disabilitas serta menindak tegas perusahaan yang mendiskriminasikan para karyawan
penyandang cacat.
Namun, butuh perjuangan yang besar
untuk bisa membangkitkan masyarakat untuk turut serta dalam “breaking the
silent of disability”. Karena, stigma kaum cacat masih buruk, stigma terendah
dalam hidup sebagai manusia yang hanya bisa merepotkan.
Akhirnya, saya pun sedang tahap membentuk
karakter dan mencoba peduli dengan keadaan sekitar. Dengan demikian saya akan
siap untuk menjadi agen perubahan untuk Indonesia yang lebih baik nantinya.
Generasi muda termasuk kaum disabiliti memiliki andil atau peran dalam
menyelesaikan permasalahan Indonesia ini. Karena itu, besar harapan saya untuk
diterima menjadi penerima Beasiswa LPDP DEPKEU agar peran saya dapat lebih
besar lagi untuk Indonesia terutama untuk bisa menjadi actor dalam lembaga
eksekutif atau legislative demi penerapan kebijakan yang aware terhadap kaum
disability.
1 komentar:
Keren sekali essay nya Bu..
^^
Posting Komentar