Selasa, 24 Desember 2013

PERANKU UNTUK BANGSA INDONESIA


Berbicara mengenai peran, pasti akan menjadi suatu pertanyaan besar mengenai apa peran penyandang cacat terhadap bangsa bahkan mungkin terhadap keluarganya agar tidak merepotkan. Mungkin pertanyaan itu masih menjadi pertanyaan common/hal biasa untuk seluruh masyarakat.

Tapi bagi kami, bagiku, pertanyaan itu adalah tantangan untuk bisa memberikan pembuktian, bahwa kami penyandang cacat bisa memiliki kontribusi dan melakukan sesuatu yang berarti untuk bangsa Indonesia.

Jika anda search keyword prestasi atlet penyandang cacat, maka otomatis pertanyaan yang common/biasa tersebut seketika akan memudar dan hilang dari pikiran anda. Betapa tidak, dengan keterbatasan fisik mereka bisa melakukan sesuatu yang berharga yakni mengharumkan nama bangsa. Indonesiapun pernah memiliki Presiden yang kontroversi karena beliau adalah penyandang tuna netra. Tapi apa lantas dengan keterbatasan tersebut, menjadi penghalang untuk bisa memimpin bangsa? Tidak. Karena pada saat kepemimpinannya sederet pemikiran brilliant lahir.

Pada konteks inilah, saya yang menjadi cacat karena peristiwa kecelakaan 13 tahun lalu, berpikir kenapa masih terjadi stigma buruk terhadap penyandang cacat? Kenapa kami tidak diberi ruang untuk menunjukkan kemampuan kami? Kenapa di perusahaan atau instansi pemerintah masih jarang ditemui kebijakan yang membolehkan penyandang cacat bekerja didalamnya? Kenapa?

Tentunya penyebab utama perlakuan diskriminatif selama ini tidak terlepas dari minimnya sanksi atau pengawasan peraturan yang mengatur kaum diffable. Sebut saja UU No.4 tahun 1997  Pasal 14 tentang "Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat" yang berbunyi bahwa setiap pengusaha yang memiliki jumlah karyawan 100 orang atau lebih pada perusahaannya wajib mempekerjakan minimal satu orang penyandang cacat untuk memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan, atau kurang dari 100 orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi tinggi. Meski UU tersebut mewajibkan adanya kuota 1% bagi penyandang cacat, namun kenyataannya pengawasan dan pemberian sanksi dari pemerintah kepada perusahaan swasta yang tidak mengimplementasikan kuota 1% tenaga kerja penyandang cacat masih minim. Selain itu, dengan adanya UU tersebut belum diikuti dengan melahirkan Perda tentang implementasi kuota 1% tenaga kerja penyandang cacat, sehingga menimbulkan ketidakpatuhan perusahaan swasta terhadap pengaturan kuota 1% tenaga kerja penyandang cacat.

Untuk itu, saya sebagai penyandang disabiliti mempunyai tekad, bahwa kebijakan public yang selama ini dibuat oleh pemerintah harus juga memperhatikan rasio keterwakilan penyandang cacat, tidak ada pemberian putusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan penyandang cacat. Saya harus ikut berperan dalam proses pembuatan kebijakan public. Artinya adalah saya harus menjadi actor di lembaga eksekutif ataupun legislative, sehingga bisa melahirkan kebijakan public yang bisa menempatkan dan memberi ruang untuk kaum disabilitas serta menindak tegas perusahaan yang mendiskriminasikan para karyawan penyandang cacat.

Namun, butuh perjuangan yang besar untuk bisa membangkitkan masyarakat untuk turut serta dalam “breaking the silent of disability”. Karena, stigma kaum cacat masih buruk, stigma terendah dalam hidup sebagai manusia yang hanya bisa merepotkan.

Akhirnya, saya pun sedang tahap membentuk karakter dan mencoba peduli dengan keadaan sekitar. Dengan demikian saya akan siap untuk menjadi agen perubahan untuk Indonesia yang lebih baik nantinya. Generasi muda termasuk kaum disabiliti memiliki andil atau peran dalam menyelesaikan permasalahan Indonesia ini. Karena itu, besar harapan saya untuk diterima menjadi penerima Beasiswa LPDP DEPKEU agar peran saya dapat lebih besar lagi untuk Indonesia terutama untuk bisa menjadi actor dalam lembaga eksekutif atau legislative demi penerapan kebijakan yang aware terhadap kaum disability.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Keren sekali essay nya Bu..
^^

Posting Komentar