Senin, 12 Maret 2018

Negara dan Poligami

Repost dari tulisan sy di https://www.kompasiana.com/wendra/5aa5f03ecaf7db1a581a4002/negara-dan-poligami


Rasanya tidak pernah ada satupun perempuan yang memimpikan untuk dipoligami, sekalipun itu dari perempuan penyandang disabilitas. Meski sudah ada UU Penyandang Disabilitas sebagai payung hukum jaminan mereka bebas diskriminasi. Namun, bagaimana jika akhirnya negara menjadi pelaku kekerasan dengan secara legal "memberikan ijin" kepada suami untuk melakukan pernikahan lebih dari satu kali karena istrinya adalah penyandang disabilitas?
 Ketidakjelasan Kehadiran Negara dalam Perlindungan Hak Perempuan Penyandang Disabilitas
Sebenarnya, masih banyaknya diskriminasi yang dialami perempuan penyandang disabilitas lebih banyak disebabkan karena kurangnya pemahaman kesadaran masyarakat akan keberadaan penyandang disabilitas yang memang tidak hanya sekadar "menyusahkan" tetapi juga "can do something". Tidak berbeda dengan masyarakat, pemahaman negara terhadap keberadaan perempuan penyandang disabilitas dinilai juga masih minim, bahkan bisa dikatakan negara gagal melindungi hak perempuan penyandang disabilitas untuk bebas dari diskriminasi.
Praktek poligami bagi perempuan penyandang disabilitas jelas dapat mengakibatkan perempuan penyandang disabilitas rentan menjadi korban kekerasan, baik kekerasan ekonomi, seksual maupun psikologi. Menurut catatan Republika (20 November 2012), berdasar hasil penelitian dari Women's Aid menunjukkan bahwa wanita cacat dua kali lebih sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dibandingkan wanita normal lainnya.
Kekerasan yang dilakukan bisa berasal dari pasangan hidup atau suaminya, keluarga, atau pengasuh. Pada perempuan penyandang disabilitas seperti tuna daksa atau cacat fisik sering menjadi korban poligami. Tentu suami akan merujuk pada pemahaman bahwa hal tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 4 ayat (2) b, yang memperbolehkan suami untuk beristri lebih dari seorang, dengan syarat yang ditentukan dalam undang-undang, yaitu:
  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Butir b tersebut justru terang-terangan menunjukkan diskriminasi terhadap perempuan penyandang disabilitas. Pandangan bahwa perempuan penyandang disabilitas adalah makhluk aseksual jelas tergambar dalam butir ini. Butir tersebut mengintepretasikan bahwa dengan memiliki istri penyandang disabilitas hanya akan merepotkan dan tidak bisa melakukan tugas sebagaimana seorang istri, maka pantas dan harus terima "dimadu".
Hal tersebut jelas menunjukkan negara tidak sensitif dan gagal melindungi hak perempuan penyandang disabilitas dari diskriminasi. Bagaimana mungkin negara bisa menumbuhkan power of spreading awarenesskepada perempuan penyandang disabilitas jika negara sendiri masih melakukan diskriminasi terhadap perempuan penyandang disabilitas?
Perlu Komitmen Pemerintah
Dalam permasalahan poligami, UU Perkawinan tahun 1974 jelas tidak memiliki sensitifitas dan berprespektif disabilitas. Karena membolehkan poligami dilakukan jika istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Artinya, negara telah melakukan kekerasan terhadap para perempuan penyandang disabilitas. Alih-alih negara ingin melindungi hak asasi mereka dengan adanya UU disabilitas yang tahun 2016 kemarin disahkan, negara justru masih melakukan kekerasan yang terlegitimasi terhadap para perempuan penyandang disabilitas.
Maka jika pasal 4 terkait ketentuan memperbolehkan suami beristeri lebih dari satu hanya karena alasan dasar isteri adalah penyandang cacat, tidak segera diubah, artinya negara hanya omong kosong melindungi perempuan penyandang disabilitas dari diskriminasi dan kekerasan, baik kekerasan psikis, ekonomi maupun kekerasan seksual. Pada kenyataannya, banyak praktek poligami dilakukan oleh suami perempuan penyandang disabilitas tidak melalui ijin pengadilan. Mereka langsung melakukannya tanpa ijin dari pengadilan bahkan ijin dari istrinya yang merupakan perempuan dengan disabilitas.

Selasa, 06 Februari 2018

Mengurai Janji Bagi Penyandang Disabilitas



Repost tulisan saya sendiri di kompasiana, dengan alamat : https://www.kompasiana.com/wendra/5a7a9887cf01b47ef954a082/mengurai-janji-bagi-penyandang-disabilitas

Dalam Pembukaan UUD 1945 jelas tertulis bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 72 tahun sudah Indonesia merdeka, Namun sudahkah tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara yang adil sudah dinikmati seluruh warganya termasuk penyandang disabilitas? Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas juga berhak memperoleh keadilan atas pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa diskriminasi. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 11 UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal tersebut jelas mengandung arti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga lainnya, tidak ada diskriminasi dan pembedaan dalam perolehan akses pekerjaan.

Permasalahan “Akses dan Peluang Kerja” Gunung Es Bagi Penyandang Disabilitas
Merujuk data LPEM FEB Universitas Indonesia, dari 12,15 persen penyandang disabilitas di Indonesia, hanya 51,12 persen penyandang disabilitas yang masuk dalam pasar kerja Indonesia. Bahkan penyandang disabilitas kategori berat hanya 20,27 persen. Sementara  65,54 persen penyandang disabilitas kebanyakan bekerja di sektor informal, seperti sektor pertanian dan pedesaan, bekerja sendiri, temporer, atau bahkan tidak dibayar.
Kondisi diatas jelas menunjukkan bahwa penyandang disabilitas kerap menghadapi keterbatasan akses atas peluang kerja. Dengan kondisi demikian, tidak heran jika kemudian banyak penyandang disabilitas sangat rentan menjadi miskin karena terdapat kendala terbatasnya peluang penyandang disabilitas atas pekerjaan. Padahal, seperti layaknya non disabilitas, penyandang disabilitas juga memiliki ketrampilan dan kemampuan yang dapat memberikan manfaat serta nilai lebih, baik terhadap perusahaan maupun pembangunan ekonomi. Menurut International Labour Organization (ILO), dengan mengucilkan penyandang disabilitas dari angkatan kerja mengakibatkan kehilangan PDB sebesar 3-7 persen. Artinya, dengan adanya penyandang disabilitas dalam pasar kerja, akan membantu mengurangi jumlah pengangguran yang berimplikasi pada pengentasan kemiskinan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Upaya Perbaikan yang Bisa Dilakukan
Harus ada terobosan konkret untuk mengatasi permasalahan diatas, pertama, penguatan kesadaran masyarakat terhadap keberadaan penyandang disabilitas sebagai orang yang juga dapat berkreasi. Selama ini, stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas hanya didasarkan pada keterbatasan kemampuan. Padahal, harusnya stigma penyandang disabilitas dianggap sebagai orang yang terbatas kemampuannya dan hanya akan menghambat, terpatahkan secara sendirinya ketika Abdurahman Wahid, seorang penyandang disabilitas (tuna netra) mampu menjadi Presiden ke empat Republik Indonesia.  Gus dur merupakan contoh bahwa meskipun tuna netra tetapi beliau memiliki kemampuan untuk memimpin sebuah negara. Sayangnya representasi tersebut dirasa belum cukup untuk mengubah pola pikir yang sudah terlanjur melekat bahwa penyandang disabilitas memiliki keterbatasan kemampuan sehingga patut dikasihani. Pelabelan “dikasihani” ini mengartikan bahwa penyandang disabilitas tidak memiliki ketrampilan dan kemampuan yang berguna. Hal inilah yang justru paling membuat difabel tidak dapat mengakses apapun dan membawa kepada kondisi sebagai masyarakat marginal, terabaikan (subordinat) dan dikasihani sepanjang masa.
Kedua, penguatan komitmen pemerintah dalam mempromosikan peluang kerja yang setara bagi penyandang disabilitas. Sejak UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disahkan, seharusnya pemerintah sudah memiliki banyak agenda terkait program promosi peluang kerja bagi penyandang disabilitas. Ini merujuk dari penjelasan pasal 14 yang mengatur masalah kuota 1% (satu persen), yaitu perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan. Nyatanya sejak UU tersebut diundangkan, permasalahan penyandang disabilitas yang susah diterima kerja atau bahkan terpaksa “diistirahatkan” lantaran mereka adalah penyandang disabilitas masih banyak dijumpai. Ini mengindikasikan perusahaan enggan menggunakan sumber daya para penyandang disabilitas dengan alih-alih hanya akan menghambat pekerjaan dan mengurangi manfaat yang akan didapat. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam mensosialisasikan ketentuan penjelasan pasal 14 terkait kuota 1% kepada perusahaan. Pemerintah harus memperbaharui kriteria perekrutan yang diberlakukan. Selama ini, kriteria yang diminta selalu mewajibkan pelamar sehat jasmani dan rokhani. Arti “sehat jasmani” inilah yang menimbulkan interpretasi bahwa tidak ada kesempatan penyandang disabilitas fisik untuk ikut dalam proses perekrutan. Ini tentu menguatkan  paradigma mempekerjakan penyandang disabilitas hanya akan mempersulit dan tidak akan memberikan keuntungan bagi perusahaan juga masih banyak dijumpai dalam masyarakat. Jika penyandang disabilitas memang benar memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, kenapa tidak ada ruang kesempatan untuk mereka membuktikan? Sekelumit cerita yang banyak dijumpai di media menuliskan bahwa beberapa penyandang disabilitas terpaksa “diistirahatkan” lantaran mereka memiliki disabilitas fisik, padahal disabilitas fisik yang dimiliki secara logika tidak menghambat pekerjaan yang ada.
Untuk itulah, pemerintah benar-benar harus memiliki komitmen kuat dalam mempromosikan kesetaraan peluang kerja bagi penyandang disabilitas. Apalagi, sekarang sudah disahkan UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam UU tersebut, lebih spesifik mengatur hak penyandang disabilitas untuk dapat memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa diskriminasi (pasal 11). Bentuk penghormatan dan perlindungan atas hak tersebut dikuatkan dalam pasal 53 yang menyatakan kewajiban bagi Perusahaan swasta mengakomodir 1% penyandang disabilitas dari keseluruhan pekerja yang dimilikinya, dan kewajiban 2% untuk sektor pemerintah dan BUMN. Artinya kesemua institusi tersebut wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Meskipun ada kenaikan dari 1% menjadi 2%, nyatanya, sampai saat ini institusi negara maupun swasta yang mempekerjakan penyandang disabilitas masih minim jumlahnya, bahkan belum memenuhi jumlah 1%. Sebagai contoh, tahun 2017 ini, pemerintah membuka penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sebanyak 17.928 posisi untuk mengisi jabatan di 30 kementerian, 30 lembaga dan satu pemerintah provinsi Kalimantan Utara. Namun, slot khusus untuk penyandang disabilitas masih jauh dari 2%, bahkan belum 1%, hanya 166 posisi dari 17.928 posisi.
Pemerintah harus memperbaharui kriteria perekrutan yang diberlakukan. Selama ini, kriteria yang diminta selalu mewajibkan pelamar sehat jasmani dan rokhani. Arti “sehat jasmani” inilah yang menimbulkan interpretasi bahwa tidak ada kesempatan penyandang disabilitas fisik untuk ikut dalam proses perekrutan. Ini tentu menguatkan  paradigma mempekerjakan penyandang disabilitas hanya akan mempersulit dan tidak akan memberikan keuntungan bagi perusahaan juga masih banyak dijumpai dalam masyarakat.
Ketiga, untuk meningkatkan efektivitas perlindungan penyandang disabilitas, percepat pembentukan lembaga negara independen yakni Komisi Nasional Disabilitas (KND) harus dipercepat sesuai Pasal 149 UU Disabilitas, yang sudah harus terbentuk 3 tahun setelah UU disahkan. Ini penting, karena persoalan disabilitas juga menyangkut pelaksanaan hak asasi manusia. Selama ini, banyak hak asasi penyandang disabilitas belum diperoleh secara utuh. Sehingga tidak heran banyak persoalan yang menjadikan penyandang disabilitas sebagai korbannya sering dijumpai dalam masyarakat. Dengan adanya lembaga tersebut diharapkan seluruh permasalahan yang melibatkan penyandang disabilitas dapat diselesaikan dengan baik. Sebagai contoh, dimulai dari permasalahan data. Sampai saat ini data penyandang disabilitas belum akurat. Beberapa  institusi berbeda dalam menyajikan jumlah data penyandang disabilitas. Artinya, belum ada institusi yang secara khusus bisa dijadikan acuan dalam perolehan data penyandang disabilitas. Padahal data merupakan faktor penting. Bagaimana kita bisa berbicara akan membantu mengangkat derajat penyandang disabilitas dari kemiskinan dengan perluasan dan pemberian kuota lapangan kerja untuk mereka, jika data tentang penyandang disabilitas saja tidak akurat. Data tersebut tentu berguna untuk memetakan kondisi disabilitas seseorang dengan pekerjaan yang tepat. Dengan kurang akuratnya data mengenai jumlah dan kategori disabilitas yang dimiliki tentu akan menghambat serangkaian tindakan yang seharusnya dapat dilakukan.
Wendra Afriana, adalah pemerhati penyandang disabilitas.                                     
Telp: 08561715004, email: weiyacb@gmail.com