Senin, 20 November 2017

Menagih Janji Kuota 2% Penyandang Disabilitas



Menagih Janji Kuota 2% Penyandang Disabilitas
(Wendra Afriana, Pemerhati Penyandang Disabilitas)

Bisa menjadi pegawai negeri sipil (PNS) mungkin menjadi impian bagi sebagian warga negara Indonesia yang saat ini tengah mencari pekerjaan. Tahun ini, impian tersebut dapat diwujudkan dengan adanya pembukaan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ada yang menarik dalam penerimaan seleksi CPNS tahun ini karena memberikan alokasi formasi khusus untuk lulusan terbaik alias cumlaude, penyandang disabilitas, serta putra/putri Papua dan Papua Barat. Namun, apakah alokasi formasi yang dikhususkan tersebut, khususnya alokasi formasi bagi penyandang disabilitas telah sesuai dengan amanah UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas?

Komitmen 2% Penyandang Disabilitas
Tahun ini pemerintah kembali membuka lowongan CPNS, dua tahun setelah moratorium pada 2015. Agustus lalu, pemerintah telah membuka tahap pertama di 2 instansi (Kemenkumham dan mahkamah agung). Menyusul kemudian, Sept 2017 untuk 60 Kementerian/Lembaga dan 1 Pemerintah Provinsi. Menurut kompas, sebanyak 17.928 kursi calon pegawai negeri sipil diperebutkan. Sebanyak 17.428 untuk formasi CPNS Kementerian/Lembaga dan 500 formasi CPNS Pemprov Kalimantan Utara. Dari 17.428 formasi CPNS Kementerian/Lembaga, 1.850 diantaranya merupakan untuk lulusan terbaik alias cumlaude, 166 penyandang disabilitas, 196 putra/putri Papua dan Papua Barat.
Ada yang menarik pada lowongan CPNS tahun ini, yakni dengan adanya alokasi formasi seleksi CPNS bagi penyandang disabilitas. Hal ini tentu sebagai bentuk implementasi pemerintah atas amanah pasal 53 UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Sayangnya, pengimplementasian amanah tersebut belum dilaksanakan secara utuh oleh pemerintah. Jika merujuk pada pasal tersebut, harusnya alokasi formasi penyandang disabilitas sebanyak 349 kursi. Sayangnya, dari 17.428 formasi untuk mengisi jabatan di 60 kementerian/lembaga hanya 166 kursi (0.0095%). Artinya, masih kurang jauh dari 1% apalagi 2%.
Padahal sebelum ada ketentuan kuota 2%, sudah terlebih dahulu ada kewajiban untuk perusahaan negara (Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)) mempekerjakan penyandang disabilitas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan (1%). Aturan ini jelas tertulis dalam Pasal 14 UU No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Meski sudah ada kenaikan 1% menjadi 2%, nyatanya sampai saat ini permasalahan implementasi dan diskriminasi kerja bagi disabilitas masih banyak dijumpai. Ini mengindikasikan perusahaan swasta dan pemerintah serta BUMN dan BUMD masih enggan menggunakan sumber daya para penyandang disabilitas dengan alih-alih hanya akan menghambat pekerjaan dan mengurangi manfaat yang akan didapat. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam mensosialisasikan kewajiban Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Wajar saja, jika komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan amanah UU Nomor 8 Tahun 2016  tentang Penyandang Disabilitas masih dipertanyakan. Harusnya masih segar dalam ingatan untuk aturan 2% tersebut. Tak ayal pelaksanaan fungsi eksekutif pemerintah dipertaruhkan. Bagaimana mungkin pemerintah bisa “memaksa” perusahaan swasta mematuhi aturan mempekerjakan 2% penyandang disabilitas, jika pemerintah sendiri tidak bisa memberikan contoh nyata dalam implementasinya.

Pembaruan Kriteria Perekrutan
Sampai saat ini, kriteria yang diminta secara umum selalu mewajibkan pelamar sehat jasmani dan rokhani. Arti “sehat jasmani” inilah yang menimbulkan interpretasi bahwa tidak ada kesempatan penyandang disabilitas fisik untuk ikut dalam proses perekrutan. Ini tentu menguatkan  paradigma mempekerjakan penyandang disabilitas hanya akan mempersulit dan tidak akan memberikan keuntungan bagi perusahaan juga masih banyak dijumpai dalam masyarakat. Jika penyandang disabilitas memang benar memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, kenapa tidak ada ruang kesempatan untuk mereka membuktikan? Sekelumit cerita yang banyak dijumpai di media menuliskan bahwa beberapa penyandang disabilitas terpaksa “diistirahatkan” lantaran mereka memiliki disabilitas fisik, padahal disabilitas fisik yang dimiliki secara logika tidak menghambat pekerjaan yang ada. Untuk itulah, pemerintah harus memperbaharui kriteria perekrutan yang diberlakukan. Bisa dengan mehilangkan kriteria sehat jasmani, cukup sehat secara rokhani. Ataupun dengan menyempurnakan kriteria “sehat jasmani” dengan “sehat jasmani (khusus penyandang disabilitas dengan mempertimbangkan derajat disabilitas yang dimiliki). Dengan demikian, selain akan membuka pintu kesempatan untuk penyandang disabilitas, juga akan turut meningkatkan kesadaran masyarakat akan kemampuan penyandang disabilitas.

 Wendra Afriana, adalah pemerhati penyandang disabilitas.                                     
Telp: 08561715004, email: weiyacb@gmail.com