Menagih Janji Kuota 2% Penyandang Disabilitas
(Wendra Afriana, Pemerhati Penyandang Disabilitas)
Bisa menjadi
pegawai negeri sipil (PNS) mungkin menjadi impian bagi sebagian warga negara
Indonesia yang saat ini tengah mencari pekerjaan. Tahun ini, impian tersebut
dapat diwujudkan dengan adanya pembukaan seleksi
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ada yang menarik dalam penerimaan seleksi
CPNS tahun ini karena memberikan alokasi formasi khusus untuk lulusan terbaik
alias cumlaude, penyandang disabilitas, serta putra/putri Papua dan Papua
Barat. Namun, apakah alokasi formasi yang dikhususkan tersebut, khususnya alokasi
formasi bagi penyandang disabilitas telah sesuai dengan amanah UU No.8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas?
Komitmen 2%
Penyandang Disabilitas
Tahun ini pemerintah kembali membuka lowongan CPNS, dua
tahun setelah moratorium pada 2015. Agustus lalu, pemerintah telah membuka tahap
pertama di 2 instansi (Kemenkumham dan mahkamah agung). Menyusul kemudian, Sept
2017 untuk 60 Kementerian/Lembaga dan 1 Pemerintah Provinsi. Menurut kompas, sebanyak
17.928 kursi calon pegawai negeri sipil diperebutkan. Sebanyak 17.428 untuk formasi
CPNS Kementerian/Lembaga dan 500 formasi CPNS Pemprov Kalimantan Utara. Dari
17.428 formasi CPNS Kementerian/Lembaga, 1.850 diantaranya merupakan untuk
lulusan terbaik alias cumlaude, 166 penyandang disabilitas, 196 putra/putri
Papua dan Papua Barat.
Ada yang menarik
pada lowongan CPNS tahun ini, yakni dengan adanya
alokasi formasi seleksi CPNS bagi penyandang disabilitas. Hal ini tentu sebagai
bentuk implementasi pemerintah atas amanah pasal 53 UU No.8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas yang mewajibkan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah
mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Sayangnya,
pengimplementasian amanah tersebut belum dilaksanakan secara utuh oleh
pemerintah. Jika merujuk pada pasal tersebut, harusnya alokasi formasi
penyandang disabilitas sebanyak 349 kursi. Sayangnya, dari 17.428 formasi untuk
mengisi jabatan di 60 kementerian/lembaga hanya 166 kursi (0.0095%). Artinya,
masih kurang jauh dari 1% apalagi 2%.
Padahal sebelum ada
ketentuan kuota 2%, sudah terlebih dahulu ada kewajiban untuk perusahaan negara
(Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)) mempekerjakan
penyandang disabilitas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap 100
(seratus) orang karyawan (1%). Aturan ini jelas tertulis dalam Pasal 14 UU No.4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Meski sudah ada kenaikan 1% menjadi 2%, nyatanya sampai saat ini
permasalahan implementasi dan diskriminasi kerja
bagi disabilitas masih
banyak dijumpai. Ini mengindikasikan perusahaan swasta dan pemerintah serta
BUMN dan BUMD masih enggan menggunakan sumber daya para penyandang disabilitas
dengan alih-alih hanya akan menghambat pekerjaan dan mengurangi manfaat yang
akan didapat. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam
mensosialisasikan kewajiban Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah
mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari
jumlah pegawai atau pekerja. Wajar saja, jika komitmen
pemerintah dalam mengimplementasikan amanah UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas masih dipertanyakan. Harusnya
masih segar dalam ingatan untuk aturan 2% tersebut. Tak ayal pelaksanaan fungsi
eksekutif pemerintah dipertaruhkan. Bagaimana mungkin pemerintah bisa “memaksa”
perusahaan swasta mematuhi aturan mempekerjakan 2% penyandang disabilitas, jika
pemerintah sendiri tidak bisa memberikan contoh nyata dalam implementasinya.
Pembaruan Kriteria Perekrutan
Sampai
saat ini, kriteria yang diminta secara umum selalu mewajibkan pelamar sehat
jasmani dan rokhani. Arti “sehat jasmani” inilah yang menimbulkan interpretasi
bahwa tidak ada kesempatan penyandang disabilitas fisik untuk ikut dalam proses
perekrutan. Ini tentu menguatkan paradigma
mempekerjakan penyandang disabilitas hanya akan mempersulit dan tidak akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan juga masih banyak dijumpai dalam
masyarakat. Jika penyandang disabilitas memang benar
memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, kenapa tidak
ada ruang kesempatan untuk mereka membuktikan? Sekelumit cerita yang banyak
dijumpai di media menuliskan bahwa beberapa penyandang disabilitas terpaksa
“diistirahatkan” lantaran mereka memiliki disabilitas fisik, padahal
disabilitas fisik yang dimiliki secara logika tidak menghambat pekerjaan yang
ada. Untuk itulah, pemerintah harus
memperbaharui kriteria perekrutan yang diberlakukan. Bisa dengan mehilangkan
kriteria sehat jasmani, cukup sehat secara rokhani. Ataupun dengan menyempurnakan
kriteria “sehat jasmani” dengan “sehat jasmani (khusus penyandang disabilitas
dengan mempertimbangkan derajat disabilitas yang dimiliki). Dengan demikian, selain
akan membuka pintu kesempatan untuk penyandang disabilitas, juga akan turut
meningkatkan kesadaran masyarakat akan kemampuan penyandang disabilitas.
Wendra Afriana, adalah pemerhati penyandang disabilitas.
Wendra Afriana, adalah pemerhati penyandang disabilitas.