Dalam
Pembukaan UUD 1945 jelas tertulis bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah
mewujudkan Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur. 72 tahun sudah Indonesia merdeka, Namun sudahkah tujuan menjadikan
Indonesia sebagai negara yang adil sudah dinikmati seluruh warganya termasuk
penyandang disabilitas? Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas
juga berhak memperoleh keadilan atas pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau
swasta tanpa diskriminasi. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 11 UU No 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal tersebut jelas mengandung arti bahwa
setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga lainnya,
tidak ada diskriminasi dan pembedaan dalam perolehan akses pekerjaan.
Permasalahan
“Akses dan Peluang Kerja” Gunung Es Bagi Penyandang Disabilitas
Merujuk
data LPEM FEB Universitas Indonesia, dari 12,15 persen penyandang disabilitas
di Indonesia, hanya 51,12 persen penyandang disabilitas yang masuk dalam pasar
kerja Indonesia. Bahkan penyandang disabilitas kategori berat hanya 20,27
persen. Sementara 65,54 persen
penyandang disabilitas kebanyakan bekerja di sektor informal, seperti sektor
pertanian dan pedesaan, bekerja sendiri, temporer, atau bahkan tidak dibayar.
Kondisi
diatas jelas menunjukkan bahwa penyandang disabilitas kerap menghadapi
keterbatasan akses atas peluang
kerja. Dengan kondisi demikian, tidak heran jika kemudian banyak penyandang
disabilitas sangat rentan menjadi miskin karena terdapat kendala terbatasnya
peluang penyandang disabilitas atas pekerjaan. Padahal, seperti layaknya non
disabilitas, penyandang disabilitas juga memiliki ketrampilan dan kemampuan yang
dapat memberikan manfaat serta nilai lebih, baik terhadap perusahaan maupun
pembangunan ekonomi. Menurut International
Labour Organization (ILO), dengan mengucilkan penyandang disabilitas dari
angkatan kerja mengakibatkan kehilangan PDB sebesar 3-7 persen. Artinya, dengan
adanya penyandang disabilitas dalam pasar kerja, akan membantu mengurangi
jumlah pengangguran yang berimplikasi pada pengentasan kemiskinan masyarakat
serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Upaya
Perbaikan yang Bisa Dilakukan
Harus ada terobosan konkret untuk mengatasi
permasalahan diatas, pertama, penguatan kesadaran masyarakat
terhadap keberadaan penyandang disabilitas sebagai orang yang juga dapat
berkreasi. Selama ini, stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas hanya
didasarkan pada keterbatasan kemampuan. Padahal, harusnya stigma
penyandang disabilitas dianggap sebagai orang yang terbatas kemampuannya dan
hanya akan menghambat, terpatahkan secara sendirinya ketika Abdurahman Wahid,
seorang penyandang disabilitas (tuna netra) mampu menjadi Presiden ke empat
Republik Indonesia. Gus dur merupakan contoh bahwa meskipun
tuna netra tetapi beliau memiliki kemampuan untuk memimpin sebuah negara. Sayangnya
representasi tersebut dirasa belum cukup untuk mengubah pola pikir yang sudah
terlanjur melekat bahwa penyandang disabilitas memiliki keterbatasan kemampuan
sehingga patut dikasihani. Pelabelan “dikasihani” ini mengartikan bahwa
penyandang disabilitas tidak memiliki ketrampilan dan kemampuan yang berguna.
Hal inilah yang justru paling membuat difabel tidak dapat mengakses apapun dan
membawa kepada kondisi sebagai masyarakat marginal, terabaikan (subordinat) dan
dikasihani sepanjang masa.
Kedua, penguatan komitmen pemerintah dalam
mempromosikan
peluang kerja yang setara bagi penyandang disabilitas. Sejak UU No 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat disahkan, seharusnya pemerintah sudah memiliki banyak
agenda terkait program promosi peluang kerja bagi penyandang disabilitas. Ini
merujuk dari penjelasan pasal 14 yang mengatur masalah kuota 1% (satu persen),
yaitu perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang
bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan. Nyatanya sejak UU
tersebut diundangkan, permasalahan penyandang disabilitas yang susah diterima
kerja atau bahkan terpaksa “diistirahatkan” lantaran mereka adalah penyandang
disabilitas masih banyak dijumpai. Ini mengindikasikan perusahaan enggan
menggunakan sumber daya para penyandang disabilitas dengan alih-alih hanya akan
menghambat pekerjaan dan mengurangi manfaat yang akan didapat. Ini juga
menunjukkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam mensosialisasikan ketentuan penjelasan
pasal 14 terkait kuota 1% kepada perusahaan. Pemerintah harus memperbaharui kriteria perekrutan yang
diberlakukan. Selama ini, kriteria yang diminta selalu mewajibkan pelamar sehat
jasmani dan rokhani. Arti “sehat jasmani” inilah yang menimbulkan interpretasi
bahwa tidak ada kesempatan penyandang disabilitas fisik untuk ikut dalam proses
perekrutan. Ini tentu menguatkan paradigma
mempekerjakan penyandang disabilitas hanya akan mempersulit dan tidak akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan juga masih banyak dijumpai dalam
masyarakat. Jika penyandang disabilitas memang benar memenuhi persyaratan dan
kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, kenapa tidak ada ruang kesempatan
untuk mereka membuktikan? Sekelumit cerita yang banyak dijumpai di media
menuliskan bahwa beberapa penyandang disabilitas terpaksa “diistirahatkan”
lantaran mereka memiliki disabilitas fisik, padahal disabilitas fisik yang
dimiliki secara logika tidak menghambat pekerjaan yang ada.
Untuk itulah, pemerintah
benar-benar harus memiliki komitmen kuat dalam mempromosikan kesetaraan peluang
kerja bagi penyandang disabilitas. Apalagi, sekarang sudah disahkan UU No.8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam UU tersebut, lebih spesifik
mengatur hak penyandang disabilitas untuk dapat memperoleh pekerjaan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa diskriminasi
(pasal 11). Bentuk penghormatan dan perlindungan atas hak tersebut dikuatkan
dalam pasal 53 yang menyatakan kewajiban bagi Perusahaan swasta mengakomodir 1%
penyandang disabilitas dari keseluruhan pekerja yang dimilikinya, dan kewajiban
2% untuk sektor pemerintah dan BUMN. Artinya kesemua institusi tersebut wajib mempekerjakan
paling sedikit 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau
pekerja. Meskipun ada kenaikan dari 1% menjadi 2%, nyatanya,
sampai saat ini institusi negara maupun swasta yang mempekerjakan penyandang
disabilitas masih minim jumlahnya, bahkan belum memenuhi jumlah 1%. Sebagai
contoh, tahun 2017 ini, pemerintah membuka penerimaan Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) sebanyak 17.928 posisi untuk mengisi jabatan di
30 kementerian, 30 lembaga dan satu pemerintah provinsi Kalimantan Utara.
Namun, slot khusus untuk penyandang disabilitas masih jauh dari 2%, bahkan
belum 1%, hanya 166 posisi dari 17.928 posisi.
Pemerintah harus memperbaharui kriteria perekrutan yang
diberlakukan. Selama ini, kriteria yang diminta selalu mewajibkan pelamar sehat
jasmani dan rokhani. Arti “sehat jasmani” inilah yang menimbulkan interpretasi
bahwa tidak ada kesempatan penyandang disabilitas fisik untuk ikut dalam proses
perekrutan. Ini tentu menguatkan paradigma
mempekerjakan penyandang disabilitas hanya akan mempersulit dan tidak akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan juga masih banyak dijumpai dalam
masyarakat.
Ketiga,
untuk meningkatkan efektivitas perlindungan penyandang disabilitas, percepat pembentukan
lembaga negara independen yakni Komisi Nasional Disabilitas (KND) harus
dipercepat sesuai
Pasal 149 UU Disabilitas, yang sudah harus terbentuk 3 tahun setelah UU
disahkan. Ini penting, karena persoalan disabilitas juga menyangkut
pelaksanaan hak asasi manusia. Selama ini, banyak hak asasi penyandang
disabilitas belum diperoleh secara utuh. Sehingga tidak heran banyak persoalan
yang menjadikan penyandang disabilitas sebagai korbannya sering dijumpai dalam
masyarakat. Dengan adanya lembaga tersebut diharapkan seluruh permasalahan yang
melibatkan penyandang disabilitas dapat diselesaikan dengan baik. Sebagai
contoh, dimulai dari permasalahan data. Sampai saat ini data penyandang
disabilitas belum akurat. Beberapa
institusi berbeda dalam menyajikan jumlah data penyandang disabilitas.
Artinya, belum ada institusi yang secara khusus bisa dijadikan acuan dalam
perolehan data penyandang disabilitas. Padahal data merupakan faktor penting.
Bagaimana kita bisa berbicara akan membantu mengangkat derajat penyandang
disabilitas dari kemiskinan dengan perluasan dan pemberian kuota lapangan kerja
untuk mereka, jika data tentang penyandang disabilitas saja tidak akurat. Data
tersebut tentu berguna untuk memetakan kondisi disabilitas seseorang dengan
pekerjaan yang tepat. Dengan kurang akuratnya data mengenai jumlah dan kategori
disabilitas yang dimiliki tentu akan menghambat serangkaian tindakan yang
seharusnya dapat dilakukan.
Wendra Afriana, adalah pemerhati penyandang disabilitas.